MUDA DAN KEHILANGAN
Ketika kau pergi, aku tahu akan ada malam panjang yang memaksaku untuk mencintai orang lain.
Aku masih mengingat langkahmu yang perlahan menjauh, meninggalkanku, lalu menghilang di tengah keramaian gereja malam Natal. Kini, kau tak lagi terlihat oleh mataku. Di antara kerumunan manusia, aku terus mencari tubuh yang tak akan lagi menoleh ke arahku.
Aku tak berbuat suatu apapun. Tapi kita memang payah, terlalu cepat menyerah. Kita berjalan tanpa tujuan. Ucapan kita tak pernah sejalan. Hanya kata-kata yang menyamar.
Kau tahu, tidak mudah untuk menemukan cinta saat dewasa. Kita tertawa untuk hal aneh. Tapi, kenapa kita tidak menertawakan diri kita sendiri?
Kita sering berbicara tentang kehilangan, bukan? Dalam percakapan yang tampak biasa, selalu ada jeda yang menyimpan kekhawatiran. Kita sadar, suatu hari nanti, kita tidak akan lagi sama. Kita bahkan pernah membicarakan cara paling lembut untuk mengakhiri ini, seperti dua orang yang siap untuk patah, tapi tak pernah siap untuk benar-benar hancur.
Setiap memelukmu, aku selalu berharap dapat memeluk jiwamu dan menaruh harapanku di situ.
Kau hanya diam. Tapi bagiku, itu adalah jawaban paling lantang. Sejak saat itu, kita mulai memilih cara-cara tak langsung untuk saling melepaskan, meski jauh di dalam hati, tak satu pun dari kita benar-benar siap.
Kupikir aku bisa menyelamatkan semuanya. Setiap hari, syukurku selalu mengetuk hatimu yang penuh keraguan. “Terima kasih karena masih bersamaku. Terima kasih untuk tawa yang kau hadirkan hari ini. Aku bersyukur, karena kita masih berjalan berdampingan.”
Tapi kini, ucapan itu tak lagi punya tempat untuk pulang. Apa yang terjadi tak sejalan dengan yang kita rencanakan. Kita tak sempat pamit. Tiba-tiba menjadi asing. Kita adalah dua orang asing yang saling menyimpan kenangan. Padahal dulu, kaulah yang mengerti setiap detail yang tercermin di mataku.
Kenapa kita selalu menempatkan diri di ujung jurang? Seolah, jika kita melangkah maju, kita akan mati.
Aku sempat percaya, bahwa aku dapat meyakinkanmu. Berkali-kali aku mencoba, karena alasan apapun. Tapi, kau terlalu dalam untuk kuselami, terlalu bisu untuk kupahami. Tidak meninggalkan apa pun selain pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah terjawab. Kau seperti sebuah teka-teki yang tak selesai. Apakah aku tak cukup peka? Atau kaulah yang terlalu pandai menyembunyikan luka dan cerita?
Saat rindu hendak kutitipkan lewat pesan, kutemukan kalimat terakhirmu: “...jadi berhenti sudah, Nona.” Kata-kata itu menjelma dinding. Keyakinanku untuk berhenti pun menguat. Maka, aku urungkan segalanya.
Mereka bilang, kau telah benar-benar pergi, dan bahwa aku harus melanjutkan hidup. Tapi... jika aku tak dapat melihatmu lagi, dapatkah aku melihat bulan setiap malam?
Kau tahu? Sepanjang hari setelah kau pergi, aku terus belajar menerima, mengajarkan hatiku untuk merasa cukup dengan keadaan kita. Aku mulai menikmati proses dalam kesendirian, menghabiskan waktu mengenangmu dan memulai hal-hal baru, termasuk menulis tentangmu.
Suatu hari, aku benar-benar berani melepasmu, menerima segala luka yang tersisa. Lalu dengan hati terbuka, kutulis selembar surat, kukirimkan padamu, tepat di hari Paskah.
"Halo, selamat malam.
Semoga salamku tersampaikan, mungkin melalui manusia lain, bulan, bintang, musik, wangi, tulisan, angin, atau entah melalui apa saja yang kau temui di sana.
Aku sudah memaafkanmu. Tidak ada luka lagi bagiku. Mohon, maafkan aku juga. Dan jika belum, aku berdoa supaya Tuhan membantu menyembuhkan segala luka yang kuperbuat.
Aku masih bersyukur sampai hari ini karena menyadari bahwa kau pernah menemani hari-hariku. Sepertinya cukup bagiku jika aku tak pernah dilupakan. Aku tidak menyesal mengenalmu. Aku percaya setiap orang punya tujuan datang ke hidupku, membuatku merasa dari apa yang tak pernah kurasa, membuatku mengerti dari apa yang belum kupahami, bahkan saat seseorang itu memilih diam dan pergi.
Kau pernah berkata, "Aku hidup oleh karena suaramu, tawamu, dan tangismu." Kini, aku berharap kau tetap melanjutkan hidupmu, walau tanpa itu semua. Tidak perlu balas apa pun untukku. Hiduplah seperti biasanya, seperti saat-saat tidak ada diriku. Rindukanlah aku kapan pun kau rasa perlu. Aku ada di sana, selalu.
Kelak, jika kau membaca kembali surat ini, biarlah ini menjadi pengingat bahwa kita pernah muda dan kehilangan.
Semoga Tuhan selalu menyertai kita. Selamat Hari Paskah."
Saat surat itu kutulis, dan berpikir bahwa itu bukan sebuah penutupan, tapi permulaan dari perjalanan kita masing-masing. Entah menjadi apapun kita.
Sekarang, melangkahlah, jika kau sudah tahu ke mana kau akan pergi. Jika kau tak kembali, jangan katakan “sampai jumpa lagi.” Balikkan punggungmu, lihatlah apa yang dapat kau temukan di luar sana. Aku tetap di sini, menyebut nama lengkapmu dalam doaku, sembari membawa harapan bahwa kelak, aku akan menemukan tempat yang tepat untuk menaruh harapanku.