MENUJU PESTA RIUH DI KEPALA

Orang-orang sering bilang aku seperti Masha dari sebuah kartun, gadis kecil yang selalu berlari-lari bersama beruangnya. Ceria dan penuh semangat. Tapi, aku bukan Masha. Namaku Bella.

Wajahku tak pernah datar. Aku mudah berteman dengan siapa saja. Aku akan melambaikan tangan dan tersenyum pada siapa pun, entah itu manusia atau hewan. Aku suka bermain, mungkin terlalu aktif, jadi orang sering menyebutku anak nakal. Padahal aku tak melakukan apa-apa yang buruk. Tapi apa yang bisa dilakukan anak kecil selain menerima apa saja yang orang dewasa katakan?

Hal yang paling aku sukai adalah bermain dengan anjingku, Timo, dan menjadi sekretaris kelas, karena aku tidak perlu menulis di buku dan mendapat pujian dari guru.

Dulu aku anak yang rajin. Bajuku selalu rapi dan kusetrika sendiri. Disiplin sejak kecil, belajar setiap hari, dan menuntaskan PR-ku. Aku akan tidur jam sembilan malam dan bangun jam empat pagi. Aku pintar, mengikuti banyak lomba dan beberapa kali menjadi juara di kelas.

Suatu hari di ruangan kelas, dengan sungguh-sungguh aku berdoa agar mendapatkan juara 1. Belum selesai aku berdoa, tiba-tiba ibu guru memanggil namaku dan benar saja, aku mendapatkan juara 1. Aku tak mengerti bagaimana perasaan orang tuaku saat itu, tapi mungkin mereka senang.

Aku pemberani dan tak pernah menangis. Tak takut pada siapa pun, bahkan pada mereka yang lebih tua dariku. Bahuku tegak, langkahku selalu mantap. Tapi kau tahu apa yang mengubahku?

Aku tak ingat sama sekali kapan ada hari yang kulewati tanpa pukulan. Aku tak pernah merasa aman dan aku tak mengerti, mengapa segala yang kulakukan selalu membuat mereka marah. Tubuh kecil nan mungil ini harus menerima karung-karung luka yang tak pernah kuminta, tapi terus ditumpukkan dari waktu ke waktu.

Suatu hari, ibuku terlihat seperti makhluk yang menyeramkan bagiku. Dengan amarah menyala, ia menendang perutku hingga aku terkapar, menangis, dan kesulitan bernapas. Tapi ia belum selesai. Ia menginjak kepalaku. Aku memohon ampun, berusaha mengingatkannya bahwa aku adalah anaknya. Mungkin, kalau kuucapkan itu, dia akan berhenti melihatku seperti binatang menjijikkan yang mencuri makanannya. Tapi tidak. Aku terpojok di sudut tembok dan mencoba berdiri, berpikir bahwa aku akan mati hari itu. Tatapanku semakin gelap dan aku tak ingat lagi bagaimana akhirnya aku bisa berdiri dan tetap hidup.

Pernah juga suatu kali, ayahku marah untuk alasan yang tak lagi kuingat, tapi lukanya masih melekat. Entah apa yang menguasainya saat itu, tiba-tiba ia melemparkan sebuah asbak stainless yang tajam. Benda itu menghantam kepalaku, dan hanya dalam hitungan detik, lantai kamar dipenuhi darahku sendiri. 

Tanpa rasa bersalah, ia pergi, membiarkanku terbaring di antara darah dan ketakutan. Dengan sisa tenaga dan suara yang nyaris tak terdengar, aku memanggilnya, hanya untuk berkata, “Ayah… kakak minta maaf.” Aku berharap, dengan kata itu saja, ia tidak menghajarku lebih jauh. Hidup selalu terasa seperti diujung kematian.

Kini aku terus bertumbuh, dan menyadari bahwa aku bukan anak yang ceria lagi. Nilaiku menurun dan menjadi juara adalah satu hal yang sulit kucapai. Bertahun-tahun bergumul dengan depresi. Menghadapinya sendirian. Beberapa teman mencoba membantu, tapi mereka tak tahu harus berbuat apa. Kadang mereka takut, karena aku terlihat seperti bukan diriku lagi. Rasanya seperti ada sesuatu yang gelap dan besar mengambil alih diriku.

Setiap saat aku menggenggam bara, dan tanpa sadar, kulemparkan panasnya pada siapa saja. Marah tanpa arah, bereaksi semaunya, seolah itu satu-satunya cara agar dunia tahu aku terluka.

Aku menggertakkan gigi dan berjalan ke dalam hutan malam-malam, duduk di tepi sungai. Bukan untuk mencari kedamaian, tapi mencari cara untuk mengakhiri semuanya. Berjalan tanpa alas kaki ke taman doa, menangis seperti orang yang kehilangan akal, tak peduli siapa yang akan mendengar. Aku putus asa dan terus bertanya, di mana kasih Tuhan?

Kadang, aku menjadi gila dengan sadar. Bukan karena aku ingin, tapi karena itu satu-satunya cara untuk lari dari pikiran yang dangkal. Aku percaya, semua yang dilakukan manusia adalah cara untuk membuktikan bahwa mereka ada. Sebuah cara untuk menunjukkan bahwa mereka adalah seorang manusia.

Pernah ada hari di mana aku bahkan tak sanggup melihat cahaya matahari. Mengurung diriku di balik tembok ini dan tak membiarkan sedikit cahaya pun masuk. Seharian aku tak melakukan apa pun selain memejamkan mata, berharap aku tak perlu melihat dunia lagi. Terjebak dalam kegelapan dan tak tahu jalan keluar. Dunia terus menuntutku untuk bertahan, sementara di dalam diriku, aku sekarat. Segalanya terasa asing. Aku tak mengenali diriku sendiri, orang tuaku, juga teman-temanku, meski aku terus mencoba mengenali mereka.

Dan bagian terburuknya, kadang hidup memaksa kita memikul luka yang bahkan bukan karena kesalahan kita. Pada waktu malam yang panjang, pikiranku kini terus bercabang. Dengan membawa segala rasa sakit, aku mengoleskan bensin yang berasal dari tangki motor dan berniat untuk membakar diriku di depan gereja. Menyakiti diriku sendiri, mencoba melarikan diri dari dunia yang menyebalkan ini.

Sambil terus menangis, aku mengoleskannya dengan susah payah. Tiba-tiba dua laki-laki datang dan mencoba menghalangiku. Ternyata, mereka sudah memantauku dari jauh sejak aku meraung-raung di taman doa.

Aku tak langsung berhenti, tetapi satu perempuan kemudian datang, mengajakku untuk duduk berdua bersamanya dan menawarkanku sebatang rokok. Aku mengambilnya dan mematahkan rokok itu, tanpa sadar bahwa aku telah menyakiti perasaan perempuan itu. Lalu, tidak berhenti juga dia menawarkanku ikat rambut, melihat rambut panjangku terurai seperti hantu. Tapi, aku tak mengambilnya. Lagi-lagi aku menyakiti perasaannya.

Salah satu laki-laki dari mereka berkata dengan sebuah harapan di matanya, “Aku juga mau pergi, jika tiga tahun lagi hidupku terus seperti ini.”

Kalimat itu membuatku perlahan berhenti menangis. Anehnya, aku ingin tahu apa yang sedang ia hadapi, sehingga membuat ia memutuskan hidupnya hanya sebatas tiga tahun saja.

Kami akhirnya bercerita dari pukul satu hingga pukul lima pagi.

Tapi ketika pagi datang, kenyataan kembali menamparku.

Rasanya seperti buta dan tuli. Aku tak bisa mendengar apa yang orang katakan dan tak bisa melihat apa yang mereka lakukan. Semuanya hanya omong kosong bagiku, tak berarti.

Aku duduk dalam keheningan dan mulai berangan-angan. Meneliti diriku baik-baik, jauh ke dalam. Mengarang kehidupan, mengingat kebaikan orang, hidangan nikmat, musik folk, kopi latte, dan bunga-bunga di altarku. Supaya, dengan hal-hal kecil itu, aku bisa merasa hidup.

Beberapa orang mungkin tak akan pernah mengerti betapa beratnya untuk sekadar “ada.” Lupakan soal makan. Untuk membuka mata dan duduk di ranjang saja, aku harus berjuang keras.

Aku benar-benar tersesat dan tak tahu bagaimana caranya hidup. Setiap hari aku bertanya pada diri sendiri, “Apakah aku akan mati hari ini?”

Kamarku ini adalah yang paling rapi dan bersih dibandingkan yang lain. Meski begitu, kamar ini tetap membuatku muak. Ia menjijikkan, karena di dalamnya, aku seperti telanjang di hadapan masa laluku. Di tempat ini, aku merasa dipermalukan. Tak ada yang bisa kusembunyikan.

Setiap hari aku mencoba lari, berharap bisa menghindari benda-benda sialan ini. Ketika aku tak sanggup kembali ke kamar, aku memilih duduk diam di taman doa. Tanpa melakukan apa pun, bahkan untuk berdoa pun rasanya aku tak sanggup. Hanya duduk, membiarkan waktu lewat begitu saja, hingga akhirnya aku tertidur di bangku gereja. Tapi sejauh apa pun aku pergi, mereka tetap di sana, menatapku diam-diam, menyimpan semua rahasiaku.

Aku tak mengerti bagaimana orang melihatku. Tapi di dalam otak yang cacat ini, terus terngiang, “Aku tak pernah berharap kau dilahirkan. Jika hidupmu hancur, itu hidupmu, bukan hidupku. Persetan dengan itu!”

Kata-kata itu menggema seperti kutukan yang tak pernah usai. Sungguh, aku akan benar-benar mati jika harus mendengar ucapan itu sekali lagi.

Hanya itu yang kupahami. Dan dari semua hal di dunia ini, tak ada yang lebih kubenci selain diriku sendiri.

Tapi suatu hari, seseorang berkata sesuatu padaku:

“Kalau itu cara kau melihat dirimu, tolong ketahui ini, begitu banyak orang yang melihatmu. Kau jauh lebih berarti dari yang kau pikirkan. Ada orang yang kau cintai, dan orang-orang yang mencintaimu kembali. Mereka tahu kau ada di sini. Bahkan aku, yang bukan siapa-siapa saja, selalu anggap kau ada. Entah tidak semenarik apa hidupku kalau tidak kenal dengan kau. Aku dan semua orang ini pasti merasa kehilangan yang besar kalau kau tiba-tiba tidak ada di sini dengan kami, tidak melihat rambut panjangmu lagi, kebiasaan anehmu, atau mendengar kau bernyanyi. Kalau Tuhan dapat memberi penghargaan, kau pasti dapat satu. Kau sepenting itu!”

Itu tak langsung menyembuhkanku. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku terdiam. Dan dalam keheningan itu, aku merasakan alasan kecil untuk tetap hidup, setidaknya satu hari lagi. Entah bagaimana, dunia menolak melepaskanku.

Lalu, aku teringat kembali sesuatu yang pernah dikatakan seorang pria tua kepadaku, mungkin usianya sekitar enam puluhan. Aku bertemu dengannya di sebuah warung kecil. Ia mencondongkan tubuh, menatapku dengan serius, dan berbisik:

“Suatu hari nanti, kau akan menerima sesuatu yang besar, sesuatu yang memang ditujukan untukmu.”

Entahlah. Aku bahkan tak mengerti maksudnya. Seharian aku terus bertanya-tanya, apa sebenarnya yang ia maksud. Mungkin memang ada hal-hal yang tak akan pernah benar-benar bisa kupahami.

Tapi, kau pasti pernah menatap langit malam penuh bintang, bukan? Mereka berkelap-kelip lembut, seolah semuanya sedang menyapamu. Mereka menyambutmu, membawa harapan-harapan yang tersembunyi dalam hatimu. Tapi pernahkah kau melihat satu bintang yang jauh, yang cahayanya meredup, seolah-olah ada sesuatu yang mencurinya?

Itulah aku. Kini, akulah bintang yang redup itu dan jika kelak kau menemukanku tergantung, kau pasti tahu bahwa aku sudah berusaha menghindari itu bertahun-tahun sebelumnya.

Aku menghabiskan seluruh hidupku menoleh ke belakang dan bertanya-tanya siapa diriku. Kalau saja ada sedikit keberuntungan, aku hanya ingin pergi ke tempat di mana seharusnya aku berada, tak dapat ditemukan, dan tinggal di sana selamanya.

Popular posts from this blog

NOL

RENGKUH

MUDA DAN KEHILANGAN